Jakarta,niagaindo.com – Warga Negara Indonesia (WNI) masih harus mencari ke layakan untuk hidupnya, dengan harus Bekerja diluar Negeri, untuk mengatasi “ Kemiskinan …? ”. Untuk itu para Pemangku Jabatan, baik Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif, dianggap perlu membuat sistem yang lebih baik, guna mengawasi keberangkatan dan penempatan Pekerja Migan Indonesia (PMI) yang akan berangkat ke luar negri.
Menurut Wakil Sekjen Komisi Nasional Lembaga Pengawasan Kebijakan Pemerintah dan Keadilan (Komnas LP KPK) Amri Abdi Piliang. Himbauan itu disampaikannya, karena sistem yang selama ini diterapkan oleh Badan Penempatan dan Perlindungan Migrasi Indonesia (BP2MI) dinilai masih belum efektif. Buktinya, ruang lingkup dan gerak Sindikat Mafia Perdagangan Orang (SMPO), dalam hal ini CMI ilegal masih juga terjadi di Indonesia.
Aksi Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) itu marak dilakukan oleh kelompok SMPO ini, dinilai jauh lebih menguntungkan dari menerapkan keberangkatan CMI secara legal. Melalui prosudure yang sebenarnya, seperti yang telah ditentukan oleh Pemerintah. Sebagaimana diakui oleh Ketua BP2MI, Benny. berdasarkan rilis dari World Bank menyebutkan. Jumlah PMI yang bekerja di luar negri tercatat sebanyak 9 juta orang. Data resmi dari Badan Pengawas (BP) PMI hanya tercatat, 4,6 juta orang.
“Dengan demikian, berarti. Terdapat sekitar 4,4 juta orang Pekerja Migran Indonesia (PMI) berangkat tidak resmi, bekerja di luar negeri secara ilegal,” kata Benny. Dalam Rakor BP2MI di Pontianak, Rabu (24/5/2023). Benny juga menerangkan, dalam tiga tahun terakhir, tidak kurang 94.000 PMI ilegal telah terjebak dalam penempatan di Wilayah Konflik, seperti di Myanmar, Kamboja. Hal ini sangat mengkhawatirkan, bagi keselamatan PMI yang bekerja di luar negeri itu.
Sementara itu. Wakil Sekjen Komnas LP KPK Amri Abdi Piliang, juga mengatakan. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) BP2MI No. 786 Tahun 2022, untuk biaya ke Taiwan dan Hongkong sekitar 17 jutaan rupiah, dibebankan pada CPMI. Kemudian biaya ini dinaikkan, menjadi 23 jutaan rupiah, berdasarkan SK BP2MI No.50 Tahun 2023, tertanggal 15 Februari 2023. Adapun, ketentuan biaya keberangkatan Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) ke luar negri secara legal, perlu disosialisasikan Pemerintah.
Karena, sebagian besar para CPMI yang mau bekerja ke luar negeri banyak yang belum memahami ketentuan dimaksud. Sementara itu, oknum yang bekerja di Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) sering memanfaatkan dana dari Koperasi Simpan Pinjam (KSP) yang dibentuk oleh kelompoknya, untuk membiayai persyaratan keberangkatan CPMI. Dari itu, seolah- olah CPMI telah memenuhi kenentuan, untuk diberangkatan sebagai CPMI.
Para CPMI yang telah diberangkatkan ke luar negeri, kemudian ditampung terlebih dahulu oleh para rekanan P3MI dinegara tersebut, kemudian disalurkan pada berbagai pihak yang membutuhkannya, sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) tersebut. Dengan ketentuan, pengguna PMI wajib membayar uang ganti rugi, atas biaya mendatangkan PMI itu, kepada pihak oknum P3MI yang ada diluar negeri tersebut, tanpa sepengetahuan TKI yang akan dipekerjakan itu.
Sebelum PMI itu diserah-terimakan dengan calon majikannya, PMI itu juga membuat perjanjian kesepakatan, untuk membayar uang jasa para oknum P3MI yang telah menyalurkannya bekerja diluar negri itu. Melalui uang gaji/ upah TKI dimaksud, dalam kurun waktu 6 hingga 9 bulan lamanya, hingga pekerja itu tidak menerima upah dari majikannya. Dari itu, para Pemangku Jabatan, Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif, dianggap perlu memperhatikan nasib para TKI itu, (Apih Ujang).