Kepri,niagaindo.com – Guna mengatasi pengamana dari kericuhan yang terjadi di depan Kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengerahan empat Satuan Setingkat Kompi (SSK) atau setara 400 personel.
Menurut Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, kepada wartawan, Kamis (14/9). Penambahan personel itu merupakan tambah, dalam rangka pengamanan. Terkait dialog antara BP Batam dengan masyarakat, pada Senin (11/9), berakhir ricuh, karena belum mendapatkan titik temu.
Dari liputan khusus tim niagaindo.com menyebutkan. Konflik itu berawal dari adanya rencana untuk menjadikan Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru, kawasan industri, perdagangan dan wisata. Dengan menggunakan lahan 7.572 hektare, sekitar 45,89 persen dari luas Pulau Rempang 16.500 hektare.
Dari itu, 7.000 sampai 10.000 jiwa, penduduk yang mendiami di Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru tersebut, harus dipindahkan (Relokasi) ke lahan yang sudah disiapkan. Namun ada penolakan dari Warga, pada saat akan dipasang patok rencana pembangunan yang akan dikerjakan oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) tersebut, hingga terjadi Bentrok, antara aparat dengan warga tersebut.
Buntut dari aksi penolakan untuk direlokasi itu, tujuh orang warga dianggap sebagai propokator, hingga diamankan petugas. Akhirnya aksi kerusuhan kembali terjadi, ribuan massa menggeruduk kantor BP Batam, Kota Batam. Mereka menuntut tujuh Warganya yang ditahan itu untuk dibebaskan oleh Polisi, dan Warga menolak rencana untuk relokasi.
Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Trend Asia mengecam aksi kekerasan dan tindakan represif aparat terhadap masyarakat adat Pulau Rempang.
Pada kamis pekan lalu, 7 September 2023. Koalisi Masyarakat Sipil menilai, ambisi pemerintahan Presiden Joko Widodo berlebih untuk mendorong investasi di Pulau Rempang, sehingga menimbulkan konflik. Dengan penggunaan kekuasaan secara berlebih, untuk merepresi masyarakat yang menolak proyek pemerintah.
Pembangunan kawasan Rempang Eco-City akan dilakukan diatas lahan tanah seluas 17 ribu hektare ini diproyeksikan oleh pemerintah, sebagai proyek strategi nasional. Melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023, tentang Perubahan Daftar PSN, yang baru disahkan pada 28 Agustus 2023 lalu.
“ Demi menjalankan proyek tersebut, pemerintah rela menggusur seluruh penduduk Rempang yang terdiri dari kurang lebih 10 ribu jiwa,” kata Koalisi Masyarakat Sipil, seraya menambahkan. Bahwa pihaknya Koalisi Masyarakat Sipil, menyayangkan hal ini terjadi, karena dalam rencana awalnya BP Batam, Kota Batam, tidak mengajak warga, masyarakat adat yang berada di lokasi proyek, untuk musyawarah (berdialog), unturencana pembangunan tersebut.
“Alih-alih memberikan rasa aman, melalui prosedur pengendalian massa. Polisi yang bertugas justru berkali-kali menembakkan gas air mata, untuk membubarkan massa,” kata Arif Maulana, Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI. Akibat dari tindakan tersebut, sejumlah warga mengalami luka-luka. Bahkan, beberapa pelajar yang mengarah sekolah, juga terkena tembakan gas air mata, sehingga beberapa pelajar di antaranya mengalami gangguan penglihatan.
Merujuk pada Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009, tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, disebut dengan jelas bahwa. Penggunaan senjata api atau senjata kimia, yang termasuk di dalamnya gas air mata, menjadi opsi terakhir. Jika situasi dianggap menimbulkan kekacauan,” kata Arif Maulana. Peristiwa tersebut semakin menegaskan bahwa kultur kekerasan terkesan tidak dapat dilepaskan dari institusi Polri, ujarnya.
Nisa Rizkiah, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam siaran pers, Kamis, 14 September 2023 juga mendesak Presiden Joko Widodo sebagai panglima tertinggi Polri dan DPR , untuk memerintahkan Kapolri menghentikan pendekatan kekerasan saat melakukan penanganan massa. Dan Kapolri harus segera menghentikan pembelian amunisi gas air mata, hingga ada evaluasi, mengenai tata kelola penggunaan gas air mata.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, konflik Warga Pulau Rempang Batam, Kepulauan Riau itu bukan disebabkan ketidakjelasan hak atas tanah, melainkan proses pengosongan lokasi tanah yang dihuni Warga tidak memiliki dasar hukum yang jelas, dan Pemerintah telah memberikan hak guna usaha pada Pulau Rempang, kepada perusahaan.
Mahfud sempat menjelaskan status tanah di Pulau Rempang. Menurut dia, Pada tahun 2001-2002, pemerintah telah memberikan Hak Guna Usaha (HGU) atas Pulau Rempang, kepada sebuah perusahaan. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2022, Pemegang HGU baru datang untuk mengecek tanah di Pulau Rempang. Ternyata, tanah itu telah ditempati oleh masyarakat. Sementara itu, menurut Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN Hadi Tjahjanto, masyarakat yang menempati Pulau Rempang tidak memiliki sertifikat tanah.
Menurut Hadi Tjahjanto, lahan tanah di Pulau Rempang, Kepuauan Riau itu merupakan kawasan hutan seluas 17 ribu hektare. 600 hektare merupakan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dari Badan Pengusahaan (BP) Batam. Sisanya dari 16.400 hektare, diantaranya lahan seluas 7.572 hektare diberikan HGU pada perusahaan, untuk kawasan industri, perdagangan dan wisata.
Terkait dengan rencana pembangunan kawasan industri, perdagangan dan wisata di Pulau Rempang, Kepuauan Riau itu. Pemerintah menyiapkan Hak Guna Bangunan (HGB) pada lahan seluas 500 hektare, lahan tanah dekat dengan laut, untuk menampung Warga masyarakat yang tempatnya terkena untuk pembangunan kawasan industri, perdagangan dan wisata di Pulau Rempang. Hadi juga mengatakan, akan menggandeng Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), untuk membangun dermaga para nelayan.
Penempatan Warga dekat dengan laut itu, bertujuan untuk memudahkan masyarakat dalam mencari nafkah, seperti menangkap ikan. Dari lahan seluas 500 hektare itu akan dibangun oleh Pemerintah, berupa bangun sarana untuk ibadah, pendidikan dan sarana kesehatan. Hadi mengatakan, sebelum terjadi konflik di Pulau Rempang, pemerintah telah melakukan pendekatan kepada masyarakat setempat. Menurut dia, hampir 50 persen dari warga dikawasan itu menerimanya.
Hadi Tjahjanto, kepada wartawan juga mengatakan. Ke depannya pemerintah memberikan beasiswa pendidikan ke Tiongkok, bagi putra-putri yang tinggal di 15 titik di Pulau Rempang. Para putra daerah itu akan dilatih agar bisa bekerja di pabrik kaca yang rencananya berdiri di pulau tersebut. Pada akhir bulan Agustus 2023 yang lalu. Pemerintah menetapkan proyek pembangunan Rempang Eco City (REC) itu sebagai proyek strategis nasional. Pengembangannya dilakukan oleh PT Makmur Elok Graha, anak perusahaan PT Artha Graha.
Sementara itu, warga Pulau Rempang membantah pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, yang menyebutkan lahan yang mereka tempati tak tergarap selama ini. Bahkan mereka berani membuktikan masyarakat sudah menempati pulau Rempang selama berpuluh-puluh tahun. Menurut warga Rempang bernama Awangcik, lamanya warga menempati Pulau Rempang bisa dilihat dari hasil pendataan sensus Pemilu.
Awangcik, yang sudah berusia 63 tahun itu juga mengaku bahwa dirinya mendiami Pulau Rempang sejak lahir. Selain Awangcik, salah satu warga asli Pulau Rempang yang mengaku bernama Gerisman Ahmad mengatakan, sebagian besar warga telah bermukim di pulau Rempang sejak tahun 1834. “ Kami sudah lama tinggal di sini, bahkan sebelum Indonesia merdeka,” kata Gerisman,
Awangcik juga menjelaskan, “ Sebenarnya masyarakat Pulau Rempang tidak menolak pembangunan proyek Rempang Eco-City. Hanya saja, mereka meminta agar pemerintah tidak melakukan penggusuran terhadap 16 kampung tua yang ada di sana. Adapun awal pemicu kericuhan itu terjadi, karena pemerintah memaksa untuk memasang patok rencana penggusuran di kampung tua itu, guna membangun pabrik kaca milik perusahaan besar, asal China. Bernama, Xinyi Group. (Tim niagaindo Riau)*