Niagaindo.com, Jakarta- Pada hari Kamis, (31/10/2024). Dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo menyatakan, Pemutusan Hubungan Kerja (PKH) harus ada keputusan tetap yang sah dari Pengadilan, dan tidak boleh dilakukan sewenang-wenang.
Dalam norma Pasal 157A ayat (3), Pasal 81 angka 49. Lampiran UU Ciptakerja dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dari itu, perselisihan dalam hubungan industrial, dapat diselesaikan melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Sesuai undang – undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).
PHI adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota. PHI berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perselisihan hubungan industrial di tempat kerja pekerja.
Untuk itu Ketua Hakim MK menyatakan, apabila di tingkat Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota (PHI) belum juga terslesaikan, maka perselisihan hubungan industrial itu dapat dilanjutkan ke Pengadilan selanjutnya. Hal ini dilakukan, sampai proses Perselisihan hubungan industrial itu selesai.
Masalah proses Perselisihan hubungan industrial ini diungkapkan oleh Hakim Ketua MK, Pada hari Kamis, (31/10/2024). Terkait dengan Gugatan partai buruh dan serikat pekerja, atas Undang-undang Cipta Kerja, dan ada 21 pasal yang dikabulkan sebagian oleh MK dalam putusannya. Serta mengubah sejumlah pasal dalam UU Cipta Kerja (CIptaker) oleh MK.
Ketua MK Suhartoyo menegaskan, “ Dalam pertimbangannya. UU 13/2003 dengan norma dalam UU 6/2023 tentang Ciptaker, dapat mengancam hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil bagi warga negara, in casu yang berpotensi merugikan pekerja/buruh/pemberi kerja/ pengusaha,” ucap Hakim MK Enny.
Atas keluarnya putusan UU 6/2023, Hakim MK Enny memerintahkan untuk membentuk perundang-undang ketenagakerjaan yang baru, dan memisahkan/mengeluarkan UU 6/2023, dari pembentukannya . Alasan Hakim MK Enny, memisahkan/mengeluarkan UU 6/2023 itu, karena dinilai dapat mengatasi ketidakharmonisan aturan hukum yang ada.
Selain mengeluarkan/membatalkan UU 6/2023, Majlis Hakim MK juga menilai. Dalam Pasal 42 ayat (1) dan pasal 81 angka 4 UU 6/2023, tentang “Pemerintah Pusat,” dalam hal ini “ Menteri Tenaga Kerja.” Mengatur urusan ketenagakerjaan, bertentangan dengan UUD 1945. Karena tidak memiliki dasar hukum yang mengikat.
Sementara itu, Majlis Hakim MK juga membatalkan pasal 42 ayat (4) dalam pasal 81 angka 4 UU 6/20 23, tentang tenaga kerja asing yang dipekerjakan di Indonesia, mendapat perlakuan istimewa, untuk jabatan tertentu, bertentangan dengan UUD 1945. Demikian halnya dengan pasal 56 ayat (3) dan pasal 81 angka 12 UU 6/2023, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal 57 ayat 1 dan pasal 81 angka 13 UU 6/2023, tentang Perjanjian kerja dengan waktu tertentu, dibuat secara tertulis, dan harus menggunakan huruf Latin, bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, pasal 64 ayat 2 dan pasal 81 angka 18 UU 6/2023. Pemerintah yang menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan, pada ayat (1). Bertentangan dengan UUD 1945 5.
Hal tersebut diatas, merupakan hasil uji materi, diantara 21 pasal yang dikabulkan oleh MK, terhadap Gugatan partai buruh dan serikat pekerja, atas Undang-undang Cipta Kerja. Keputusan dari Ketua MK Suhartoyo ini dituangkan dalam Surat nomor 168/PUU-XXI/2023, pada Kamis, (31/10/2024), dalam sidang di Gedung MK Jakarta. Dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh, dan untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh. (Djohan Chaniago)*