Jakarta,niagaindo.com – Bahan Pewarna Karmin, sering digunakan sebagai campuran untuk produk makanan dan minuman. Namun, akhir-akhir ini sempat menjadi perdebatan, setelah Lembaga Bahstul Masail – Nahdlatul Ulama (LBM NU) Provinsi Jawa Timur menyatakan fatwa haram untuk dikonsumsi.
Dilansir dari laman brainly.co.id, Senin 2 Oktober 2023 menyebutkan, pewarna Karmin yang dalam bahasa ilmiahnya “ Cochineal,” labelnya diberi kode CI 75470 dianggap mengandung bakteri, dapat menimbulkan efek negatif bagi kesehatan organ tubuh manusia yang mengkonsumsinya secara rutin.
Ketetapan fatwa haram itu diperoleh dari hasil musyawarah bahtsul masail yang diselenggarkan oleh Pengurus Wilayah (PW-NU) Jawa timur (Jatim), yang disampaikan oleh KH Marzuqi Mustamar, pada saat mengisi ceramah dalam memperingati (Haul) ke-47 KH. Atqon di Pondok Pesantren Mambaul Ulumayong.
” Karmin itu adalah mahluk sejenis kutu, bentuknya seperti ulat. Warnanya merah hati, atau merah tua, biasanya hinggap ditanaman kaktus,” kata ketua PWNU Jawa Timur, DR KH Marzuqi Mustamar, dan alasan pihak PWNU mengharamkan pewarna karmin itu, karena tergolong bangkai ikan dan belalang. Dapat menimbulkan penyakit ginjal dan hati, serta alergi bagi orang yang rutin mengonsumsinya.
“ Karmin merupakan serangga daun (Dactylopius Coccus) yang hidupnya dari memakan daun kaktus, sejenis Opuntia. Pewarna Karmin ini sudah digunakan oleh suku Aztec di Peru, sejak abad ke-15. Setelah kedatangan orang Spanyol, dikembang biakkan dalam pertanian skala besar di Meksiko, Peru, dan sekitarnya,” kata DR KH Marzuqi Mustamar.
Zat pewarna Karmin yang diperdagangkan di seluruh dunia, dari Amerika, Eropa, dan India menui polemik. Salah satunya fatwa haram yang dinyatakan oleh LBM NU Provinsi Jawa Timur. Namun, fatwa haram itu berbeda dengan pendapat Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan bahwa zat pewarna Karmin itu halal, dan layak untuk dikonsumsi umat muslim.
Fatwa haram yang dinyatakan oleh LBM NU Provinsi Jawa Timur itu dinyatakan halal, dan layak untuk dikonsumsi umat muslim, oleh MUI pusat di Jakarta. Karena, pada tahun 2011 MUI pernaah melakukan pembahasan secara intensif, dengan menghdirkan Doktor Purnama Hidayat, seorang ahli entomologi dari IPB, dan Doktor Mulyorini dari Cardiff University Inggris, sebagai penulis dan peneliti blue insecticide.
Menurut salah seorang angota MUI (Asrorun ), masalah cochineal (Zat pewarna Karmin) berasal dari hewan yang tidak mengeluarkan darah, dan MUI telah melakukan pengkajian secara mendalam. Selain itu, menurut empat madzhab Syafi’i, Hambali, Hanafi, dan Maliki, menyatakan bangkai hewan yang tidak memiliki darah seperti serangga, statusnya tidak najis, demikian pula kotorannya.
Menurut Madzhab Hambali dalam kitab Al Mughni (3/252) dan Madzhab Syafi (An-Nihayah) serta Madzhab Hanafi (Nihayah al-Muhtaj, 1/237) semuanya menyatakan, hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir ketika dilukai, tidak najis dan suci. Dari itu MUI menerbitkan Fatwa Nomor 33 Tahun 2011 untuk penggunaan pewarna makanan dan minuman yang berasal dari cochineal dinyatakan halal, sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan.(Redaksi)*